Kamis, 18 Oktober 2018

PENGUKURAN WALKABILITY INDEX PADA RUAS JALAN DI KAWASAN PERKOTAAN


PENGUKURAN WALKABILITY INDEX PADA RUAS JALAN DI KAWASAN PERKOTAAN
(WALKABILITY INDEX MEASUREMENT ON ROAD LINKS IN URBAN AREA)
ABSTRAK




Aktivitas berjalan adalah bentuk aktivitas yang penting, baik sebagai moda transportasi maupun sebagai aktivitas itu sendiri. Berjalan sebagai moda transportasi menjadi indikator penting dalam aksesibilitas dan penilaian liveable city. Walkability index adalah salah satu metode untuk menilai kualitas lingkungan aktivitas berjalan. Makalah ini membahas mengenai pengukuran walkability index pada ruas-ruas jalan dalam beberapa kawasan terpilih di perkotaan menggunakan dua jenis survei, yaitu survei inventarisasi fasilitas pejalan kaki dan survei wawancara pejalan kaki. Metode walkability index ini dikembangkan dari beberapa kajian terkait walking measures untuk kasus kota-kota di Indonesia. Terdapat sembilan parameter yang digunakan dalam mengembangkan walkability index dan dengan survei form yang dikembangkan khusus, dilakukan investigasi terhadap beberapa kawasan di daerah studi. Kawasan-kawasan tersebut adalah kawasan pendidikan, kawasan perbelanjaan, kawasan perkantoran, dan kawasan peribadatan. Rute berjalan dalam walking catchment area untuk setiap kawasan dinilai dan ditentukan nilai walkability index-nya. Hasil kajian memperlihatkan Walkability Index rata-rata untuk kawasan pendidikan 70,64, kawasan perbelanjaan 68,03, kawasan perkantoran 68,16, dan kawasan peribadatan 67,42. Dari indeks tersebut terlihat bahwa secara umum daerah studi termasuk ke dalam kategori kuning yang berarti cukup baik untuk berjalan. Nilai walkability index dapat memberikan indikasi arah perbaikan yang perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan fasilitas pejalan kaki pada kawasan- kawasan tersebut dengan mengacu pada nilai setiap parameter yang digunakan.

ABSTRACT
Walking is an important activty both as transportation mode and walking acvity itself.Walking as transportaion mode becomes an important indicator in the accessibility and liveable city assessment. Walkability Index is a method to measure the quality of walking activity environtment. This paper discusses walkability measurement on several links of selected urban areas using two types of surveys, i.e. pedestrian facility inventory and pedestrian interview. Walkability Index method was developed in several walking studies in cases of Indonesian cities. There were nine parameters used to develope Walkability Index to investigate several zones in the study areas combined with special modified survey form. The study areas consisted of educational, shopping, business, and religious activity zones. The walking route in walking catchment area of each zone is assesed to determine the Walkability Index value. The study result showed the average Walkability Index are 70.64, 68.03 , 68.16, and 67.42 for educational, shopping, business, and religious activity zones respectively. From the above result, generally the study areas are categorized as the “yellow category” meaning good walking environment. Walkability Index value could indicate direction for the improvement strategy of pedestrian facilities. It could be conducted by improving pedestrian facilities in the area based on each parameter value used.
Keywords: urban road, walkability index, walking mode, pedestrian fasilities, urban area


PENDAHULUAN


Moda berjalan adalah moda yang  pali  ng dasar dan penting dalam transportasi. Moda ini adalah salah satu komponen penting dalam konsep aksesibilitas, khususnya dalam kajian angkutan umum. Dalam Program Pembangunan Kota Hijau (P2KH) (Kementerian PU 2011), moda berjalan menjadi salah satu indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam kriteria kota layak huni (liveable city). Walking environment menjadi salah satu kriteria penting yang perlu dipertimbangkan (IAPI 2009).
Walkability atau kelayakan berjalan adalah interaksi antara fasilitas pejalan kaki dan dukungan keseluruhan untuk lingkungan pejalan kaki (Krambeck, 2006). Walkability Index (WI) adalah ukuran untuk menilai kondisi kelayakan berjalan secara kualitatif. Konsep ini dikembangkan pertama kali oleh Krambeck (2006) dalam bentuk Global Walkability Index (GWI). Aplikasi GWI untuk kasus kota-kota di negara berkembang di Asia dikembangkan oleh Leather et al. (2011). Penelitian yang disajikan dalam makalah ini bertujuan untuk mengembangkan model GWI untuk kawasan- kawasan tertentu di perkotaan, seperti kawasan pendidikan, komersial, perkantoran dan peribadatan. Model ini diharapkan dapat memberikan ilustrasi sistem evaluasi yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan berjalan di kawasan tertentu di perkotaan. Dengan pendekatan kualitatif diharapkan pada implementasinya dapat memberikan daftar item- item perbaikan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan moda berjalan di perkotaan.
Penilaian walkability yang dibahas dalam malakah ini merupakan hasil penilaian beberapa jalur pejalan kaki di ruas jalan pada beberapa kawasan di Kota Semarang, Jawa Tengah dengan menggunakan dua jenis survei, yaitu survei wawancara pejalan kaki dan survei inventarisasi fasilitas pejalan kaki. Survey wawancana adalah untuk mengidentifikasi desire walking route (rute pejalan kaki) sedangkan survei inventarisasi adalah untuk membuat penilaian walkability yang mengacu pada konsep GWI. Prosedur pengembangan GWI untuk kasus kota Bandung yang sudah dikembangkan oleh Wibowo, Natalia, dan Nuryani (2015) digunakan kembali dalam penelitian ini dengan variasi beberapa fungsi kawasan di kota Bandung.

KAJIAN PUSTAKA
Fasilitas pejalan kaki
   Fasilitas pejalan kaki adalah semua bangunan yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan pelayanan kepada pejalan kaki, sehingga dapat meningkatkan kelancaran, ke amanan  kenyamanan serta keselamatan pengguna- nya. Fasilitas pejalan kaki dibedakan menjadi (Tanan 2011): 
1)    Fasilitas utama, yakni berupa jalur pejalan kaki, misalnya trotoar dan penyeberangan baik sebidang maupun tidak sebidang.
2) Fasilitas pendukung, berupa segala sarana pendukung, misalnya: rambu, marka, pengendali kecepatan, papan informasi, lapak tunggu, lampu penerangan, pagar pengaman, pelindung/ peneduh, jalur hijau, tempat duduk, tempat sampah, halte, drainase, bollard, dan lain sebagainya
      Jalur pejalan kaki selain jalur penyeberangan dalam istilah transportasi dibedakan menjadi dua, yakni sidewalk dan walkway. Keduanya merupakan komponen integral sistem jalan di mana  pejalan  kaki perlu merasakan keselamatan, kenyamanan, aksesibilitas, dan mobilitas yang  efisien.  Kedua jalur pejalan kaki ini dapat meningkatkan keselamatan pejalan  kaki  dengan memisahkan pejalan kaki dari  lalu lintas kendaraan secara vertikal (posisinya ditinggikan dengan kereb) dan/atau secara horizontal bila tersedia ruang yang cukup. Sidewalk adalah ruang khusus di sisi jalan dengan posisinya sejajar jalan yang diperuntukan untuk perjalanan pejalan kaki dalam hal ini trotoar. Sedangkan walkway adalah ruang khusus yang letaknya bukan pada sisi jalan dan biasanya ditempatkan pada tempat- tempat tertentu seperti taman dan lain sebagainya yang sifatnya jalan pintas menghubungkan secara langsung ke tempat- tempat yang spesifik.


Konsep walkability
       Istilah walkability mencerminkan keseluruhan kondisi berjalan pada suatu daerah. Dalam Victoria Transport Policy Institute (2014) mengemukakan walkability memperhitungkan beberapa parameter, yakni kualitas fasilitas, konektivitas jalur, kondisi jalan, pola tata guna lahan, dukungan masyarakat, kenyamanan, serta rasa aman saat berjalan. Walkability dapat dievaluasi pada skala lokasi, ruas jalan, ataupun skala lingkungan Secara umum walkability memperhitung- kan sebagai berikut:
1)      Kualitas jaringan jalur pejalan kaki (trotoar, penyeberangan)
2)   Konektivitas jaringan jalur pejalan kaki (seberapa baik trotoar dan jalur pejalan kaki lainnya saling terhubung, dan seberapa baik pejalan kaki dapat mengakses tempat tujuan secara langsung).
3)      Keamanan (seberapa aman yang dirasakan orang saat berjalan).
4)   Kepadatan dan aksesibilitas (jarak antara lokasi destinasi umum, seperti rumah, toko,   sekolah, dan taman).
     
WI 
       Telah banyak metode yang dikembangkan dalam mengukur walkability, salah satunya adalah metode pengukuran walkability yang dikembangkan oleh Holly Krambeck untuk World Bank yang dikenal sebagai GWI. Tujuan adanya metode ini adalah untuk meningkatkan walkability kota-kota berkembang, dengan kunci tujuan yaitu
1)    Menghasilkan kesadaran bahwa walkability adalah merupakan isu penting di negara berkembang.
2)    Melakukan identifikasi mengenai jalur pejalan kaki secara spesifik, serta melakukan perbandingan dengan kota lain, memberikan rekomendasi serta langkah untuk peningkatan kondisi jalur pejalan kaki.
       Tabel 1. Metode dari perolehan WI dari penelitian Asian Development Bank (ADB) tersebut berbeda dengan GWI. GWI memasukkan jumlah pejalan kaki (dari hasil Pedestian count selama 15 menit) dan panjang segmen jalan yang disurvei dalam perhitungan indeks, yang mengindikasi adanya pengaruh kedua faktor tersebut terhadap indeks. Berbeda dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh ADB tidak memasukkan dua faktor tersebut dalam menghitung nilai indeks walau sebenarnya dilakukan dalam survei. Jumlah pejalan kaki dan panjang segmen jalan tidak dimasukkan karena untuk menghilangkan bias.
3)    Memberikan masukan serta mendorong pemerintah kota untuk mengatasi masalah walkability.
WI yang dikembangkan Krambeck (2006) terdiri dari 3 (tiga) komponen:
1)    Keselamatan dan keamanan (menentukan keselamatan dan keamanan lingkungan ber- jalan).
2)    kenyamanan (yang mencerminkan kenyama- nan dan daya tarik jaringan pejalan kaki).
3)    Dukungan kebijakan (mencerminkan sejauh mana dukungan pemerintah kota terhadap perbaikan fasilitas pejalan kaki serta layanan terkait, termasuk di dalamnya mengenai perencanaan moda tidak bermotor dan penganggaran perencanaan fasilitas pejalan kaki).
      Ketiga komponen tersebut kemudian dibagi menjadi 22 indikator (Modal Conflict, Crossing Safety, Crossing Exposure, Traffic Management at Crossings, Security, Safety Rules and Laws, Pedestrian Safety Education, Motorist Behavior, Trees, Cleanliness, Quality and Maintenance of Walking Path Surface, Disability Infrastructure, Obstruction, Availability of Crossings, Walking Path Congestion, Pedestrian Amenities, Connectivity, Overall Convenience, Planning for Pedestrians, Relevan Design Guidelines). Selanjutnya ke-22 indikator tersebut dielaborasi menjadi 45 variabel.
      Penelitian oleh Leather et al. (2011) yang mengkaji walkability di beberapa negara di Asia, menggunakan parameter-parameter yang dimodifikasi dari GWI. Parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada yang dihasilkan oleh jumlah orang berjalan di segmen jalan tertentu dan panjangnya. Misalnya, suatu segmen jalan dengan infrastruktur yang cukup dan lalu lintas pejalan kaki yang sangat tinggi seharusnya tidak menerima peringkat lebih tinggi daripada segmen jalan dengan infrastruktur berkualitas tinggi dengan lalu lintas pejalan kaki yang rendah. Tingkat penggunaan infrastruktur pejalan kaki dengan sendirinya tidak boleh digunakan sebagai parameter untuk menilai walkability pada daerah tertentu, karena dirasa tidak adil pada daerah yang infrastruktur pejalan kaki-nya baik dengan tingkat penggunaan yang lebih rendah. Penghitungan jumlah pejalan kaki digunakan dalam mengidentifikasi daerah-daerah prioritas yang membutuhkan perbaikan (misalnya daerah dengan lalu lintas pejalan kaki tinggi tetapi dengan penilaian walkability rendah). Alasan yang sama juga berlaku untuk jarak.
Selain Krambeck dan Leather, ada beberapa metode penilaian walkability lainnya, di antaranya: Walkability Audit Tool (U.S. 2004), Pedestrian Environmental Quality Index- PEQI (San Francisco Department of Public Health 2008), HPE’s Walkability Index (Hall 2010), dan Walkability Checklists (US DoT 2005).
T abel 1. Paramater yang digunakan pada penelitian ADB tentang walkability
Parameter
Penjelasan
1. Konflik jalur pejalan kaki dengan
moda transportasi lainnya
Tingkat konflik antara pejalan kaki dan mode lain di jalan, seperti sepeda,
sepeda motor dan mobil
2. Ketersediaan jalur pejalan kaki
Kebutuhan, ketersediaan dan kondisi jalur berjalan. Parameter ini diubah
dari parameter "Pemeliharaan dan Kebersihan" dalam GWI
3. Ketersediaan penyeberangan
Ketersediaan dan panjang penyeberangan untuk menjelaskan apakah pejalan kaki cenderung jaywalk ketika tidak ada penyeberangan atau ketika penyeberangan terlalu jauh
4. Keselamatan penyeberangan
Arus lalu lintas moda lainnya saat melintasi jalan, waktu yang dihabiskan menunggu dan menyeberang jalan dan jumlah waktu yang diberikan kepada pejalan kaki untuk menyeberang persimpangan dengan sinyal
5. Perilaku Pengendara Kendaraan
bermotor
Perilaku pengendara terhadap pejalan kaki sebagai indikasi jenis
lingkungan pejalan kaki
6. Amenities (kelengkapan pendukung)
Ketersediaan fasilitas pejalan kaki, seperti bangku, lampu jalan, toilet umum, dan pohon-pohon, yang sangat meningkatkan daya tarik dan kenyamanan lingkungan pejalan kaki, dan juga daerah di sekitarnya.
7. Infrastruktur penunjang kelompok
penyandang cacat
Ketersediaan, posisi dan pemeliharaan infrastruktur untuk penyandang
cacat
8. Kendala/ hambatan
Adanya penghalang permanen dan sementara di jalur pejalan kaki yang akan mengurangi lebar efektif jalur pejalan kaki sehingga dapat
menyebabkan ketidaknyamanan bagi pejalan kaki
9. Keamanan dari kejahatan
Rasa aman yang umum terhadap kejahatan di jalan
                                                                 
Sumber: Leather et al. (2011) yang dimodifikasi.



HIPOTESIS

         WI dapat menunjukkan ruas jalan yang memiliki masalah terkait kelayakan berjalan.

METODOLOGI

Diagram alir pengukuran
Dalam    kajian    ini,    aktivitas    moda transportasi berjalan adalah berjalannya orang untuk menuju tempat tertentu, guna memenuhi kebutuhannya atau aktivitas utamanya. Penilaian walkability dilakukan pada fasilitas pejalan kaki untuk spesifik rute perjalanan yang dipilih oleh pejalan kaki yang bersangkutan. Secara umum prosedur pengukuran nilai walkability pada ruas jalan di perkotaan mengikuti diagram alir pada Gambar 1.







Penetapan tipe kawasan dan lokasinya
      
      Mengacu pada penelitian ADB yang dilakukan oleh Leather et al. (2011), hal yang sama dilakukan pada kajian ini, dimana lokasi kajian dilakukan di Kota Semarang. Ditetapkan beberapa kawasan yang akan dinilai, yakni kawasan pendidikan, perbelanjaan (komersial), perkantoran, dan peribadatan. Fasilitas pejalan kaki dapat ditempatkan disepanjang jalan atau pada suatu kawasan yang akan mengakibatkan pertumbuhan pejalan kaki seperti daerah-daerah industri, pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, sekolah, terminal bus, perumahan, dan pusat hiburan (Indonesia 2014). Tipe kawasan tersebut merupakan kawasan aktivitas masyarakat yang dapat menarik dan membangkitkan perjalanan pejalan kaki, sehingga pengambilan beberapa jenis kawasan pada kajian ini dapat menjadi sampling kawasan yang dapat mewakili kondisi fasilitas pejalan kaki berdasarkan jenis kawasan, aktivitas, serta responden dengan tujuan perjalanan yang berbeda-beda.
Adapun lokasi yang dipilih pada makalah ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kawasan yang dikaji
Kawasan yang
             Dikaji                                                                     
Lokasi
Kawasan Pendidikan
·      Undip Kampus Tembalang
·      Kompleks Sekolah jalan
                                               Pandanaran II                     
Kawasan
  Perbelanjaan             
·      Citraland Mall
·      Paragon Mall                       
Kawasan Perkantoran
·      Kompleks Perkantoran jalan Pandanaran
·      Kompleks Kantor
                                               Gubernur Jawa Tengah     
Kawasan Peribadatan
·      Masjid Raya Baitullah Semarang
·      Masjid Agung Jawa
                                               Tengah                                 
Penetapan pusat aktivitas lokasi kawasan

Dalam banyak kajian tentang pejalan kaki, jarak seseorang untuk berjalan menuju pusat aktivitasnya sangat bervariasi tergantung dari banyak faktor. Secara umum, akses berjalan menuju terminal transportasi (dalam hal ini berjalan adalah bagian dari perjalanan atau access trip) lebih besar dari berjalan menuju tempat aktivitasnya, misalnya berjalan dari kantor ke restoran untuk istirahat makan siang. Besar jarak access trip tergantung dari jenis moda yang ingin dituju, seperti bus atau kereta api namun secara umum digunakan 5 menit atau 10 menit berjalan kaki. Besaran ini sudah banyak dikaji seperti yang dapat dilihat pada VTPI (2015), Wibowo, Natalia, dan Nuryani (2015),
Rood (2001), Vuchic (2005).
Dalam kajian ini, besaran 5 menit berjalan kaki ditetapkan sebagai pedestrian catchment area (daerah tangkapan pejalan kaki) yang diasumsikan sejauh 400 meter. Jarak ini adalah jarak asumsi dimana pejalan kaki masih mau berjalan dengan nyaman untuk mencapai pusat aktivitasnya (Wibowo dan Chalermpong 2010)
Setiap lokasi kawasan ditetapkan pusat aktivitasnya. Pusat aktivitas yang dimaksud adalah titik yang diasumsikan sebagai titik berakhirnya perjalanan.Titik pusat aktivitas ini berupa titik pintu gerbang setiap lokasi kawasan. Selanjutnya ditetapkan daerah tangkapan pejalan kaki dengan memetakan daerah yang masuk pada radius 400 meter (panjang teoritis) dari titik-titik pusat aktivitas yang telah ditentukan sebelumnya.

Identifikasi jalur pejalan kaki

          Segmen-segmen jalur pejalan kaki yang akan disurvei tidak menerus, dan dibatasi oleh daerah tangkapan pejalan kaki sejauh 400 meter dengan gerbang tiap-tiap lokasi kawasan sebagai titik pusatnya. Jalur-jalur berjalan tersebut diambil secara acak dengan pola diagonal di tiap-tiap lokasinya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. Pada gambar tersebut, survei investigasi dilakukan pada rute-rute berjalan yang teridentifikasi (dari hasil wawancara) yang berada pada daerah yang diarsir. Berbeda dengan yang dilakukan untuk kasus Kota Bandung, dalam Wibowo, Natalia, dan Nuryani (2015), rute berjalan diambil secara acak dan tidak menerus untuk dari asal ke tujuan. Hal ini dilakukan untuk mendapat variability (tingkat keragaman) kondisi pejalan kaki pada kawasan yang dikaji (tidak didominasi oleh rute- rute utama pada kawasan tersebut).
Gambar 2. Penetapan sampling area untuk investigasi rute berjalan.


Inventarisasi fasilitas pejalan kaki
Kegiatan selanjutnya yaitu survei inventarisasi rute-rute berjalan. Survei ini terdiri dari dua kegiatan besar yaitu, mendokumen- tasikan kondisi fasilitas pejalan kaki dan lingkungannya dalam bentuk rekaman video maupun foto dan menilai suatu segmen jalur berjalan dari skor 1 sampai 5 (1 adalah terendah dan 5 adalah tertinggi) per parameter pada setiap lokasi. Penilaian walkability tersebut dilakukan pada setiap rute berjalan di tiap lokasi. Setiap rute berjalan terdiri dari beberapa segmen jalur berjalan. Segmen jalur berjalan yang dimaksud yaitu:
1.    Dibatasi dengan jenis infrastruktur jalur berjalan (sidewalk dan walkway).
2.    Dibatasi dengan adanya simpang.
Penilaian dilakukan secara umum untuk keseluruhan panjang setiap segmen jalur berjalan dengan asumsi bahwa kondisi pada sepanjang tiap segmen jalur berjalan adalah sama. Skor penilaian suatu parameter dapat juga memuat nilai tengah jika segmen jalur pejalan kaki tersebut mencerminkan dua kondisi skor. Sisi sidewalk yang disurvei berdasarkan pengamatan di lapangan dimana sisi tersebut banyak dilewati pejalan kaki. Pada setiap lokasi dilakukan pula pendataan panjang dan lebar efektif masing-masing segmen jalur berjalan yang disurvei. 
Penilaian walkability menggunakan parameter seperti yang tertera pada Tabel 1. Hasil dokumentasi survei dalam bentuk rekaman video dan foto digunakan untuk menilai kondisi dan lingkungan fasilitas berjalan di setiap segmen rute yang diamati. Setiap segmen dinilai dengan skor 1 sampai dengan 5 untuk masing- masing parameter di mana skor 1 adalah yang terendah (kondisi terburuk) dan 5 adalah yang tertinggi (kondisi terbaik). Untuk memudahkan penilaian dan konsistensi, formulir dibuat sedemikian rupa seperti terlihat pada gambar berikut ini (contoh untuk parameter 2).


Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis untuk mengembangkan walkability index seperti yang dikembangkan sebelumnya. Untuk kemudahan perhitungan, nilai skor penilaian dikonversikan dalam rentang nilai/rating 0-100. Sebagai interprestasi nilai digunakan pendekatan yang telah dilakukan oleh Gota et al. (2011) yang mengelompokkan rating walkability ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu:
1.    Kategori Hijau, dengan skor > 70, menyatakan highly walkable (sangat baik untuk berjalan)
2.    Kategori Kuning, dengan skor 50 – 70, menya-takan waiting to walk (cukup baik untuk berjalan)
3.    Kategori Merah, dengan skor < 50, menyata- kan not walkable (tidak baik untuk berjalan)

Perhitungan WI

WI merupakan suatu nilai yang dapat mewakili suatu kondisi tertentu dalam hal ini kelayakan berjalan suatu wilayah. Nilai indeks ini memperhitungkan panjang segmen jalan sehingga dapat dikatakan adil untuk setiap segmen jalan dengan panjang yang berbeda- beda. Nilai dari hasil penilaian walkability pada setiap parameter dikalikan dengan bobot. Penggunaan bobot jika terdapat parameter yang dianggap lebih penting daripada parameter lainnya. Dalam makalah ini, semua parameter diasumsikan memiliki tingkat kepentingan yang sama sehingga nilai bobot yang digunakan adalah 1.
Setiap segmen jalur berjalan mempunyai nilai skor. Nilai skor suatu segmen
(i) didapat dengan menjumlahkan setiap nilai yang dikalikan dengan bobot pada setiap parameter.


Kemudian nilai skor segmen tersebut dikalikan dengan panjang segmen jalur berjalan.

𝑆𝑘𝑜𝑟𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑠𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛𝑖 ×
𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛𝑖 ….....................(2)

Sehingga      indeks    masing-masing    kawasan didapat,

𝑖𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑤𝑎𝑙𝑘𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦 𝑘𝑎𝑤𝑎𝑠𝑎𝑛 = 𝑠𝑘𝑜𝑟𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘...... (3)
Keterangan:
n = jumlah parameter
i = segmen

j = parameter


      Indeks yang diperoleh tersebut menjelaskan kondisi fasilitas pejalan kaki sebagai fungsi aksesibilitas suatu lokasi. Perhitungan akhir WI per kawasan diperoleh dari rata-rata indeks masing-masing lokasi. Usulan perbaikan dapat dilihat berdasarkan perolehan WI yang paling rendah pada parameter tertentu. Hal lain yang dapat dipertimbangkan dalam mengusulkan perbaikan fasilitas pejalan kaki adalah hasil wawancara mengenai persepsi dan preferensi pejalan kaki.

Wawancara pejalan kaki

          Survei wawancara dilakukan pada daerah tujuan (lokasi tinjauan) dengan target responden yakni harus merupakan pejalan kaki ataupun orang yang berpotensi berjalan kaki yang memulai perjalanan dari daerah asal (daerah yang termasuk dalam daerah tangkapan pejalan kaki). Kuesioner singkat mengenai rute berjalan, karakteristik perjalanan, sosie konomi dan tanggapan responden disiapkan. Kuesioner tersebut diisi oleh penyurvei saat melakukan wawancara terhadap responden. Dalam survei ini pun, responden diminta menilai kondisi rute berjalannya (yang berupa persepsi) dengan menggunakan sembilan parameter yang digunakan dalam penilaian survei inventory fasilitas pejalan kaki. Salah satu informasi penting yang didapat dari survei wawancara ini adalah rute berjalan yang pada umumnya dilalui oleh pejalan kaki dari daerah asal menuju daerah tujuannya. Survei wawancara pejalan kaki yang telah dilakukan, selanjutnya dikumpulkan dan direkap datanya. Hasil dari survei wawancara tersebut diolah secara statistik inferensial untuk menggambarkan persepsi dan preferensi dari populasi. Pengolahan atas data menjadi informasi menggunakan tabel, grafis, maupun flowchart.

HASIL DAN ANALISIS
Penilaian walkability
           Hasil penilaian walkability per parameter untuk setiap kawasan ditunjukkan Gambar 4. Nilai walkability tertinggi untuk kawasan pendidikan diperoleh pada parameter sembilan (86,71), sebaliknya nilai terendah pada parameter tujuh (39,08). Terkait dengan kawasan pendidikan dimana pelajar/mahasiswa sebagai mayoritas pejalan kakinya, rasa aman dari kejahatan merupakan suatu hal yang penting yang dapat meningkatkan ketertarikan untuk berjalan kaki. Infrastruktur penunjang penyandang cacat yang minim pada kawasan ini membuktikan bahwa penyandang cacat masih terabaikan. Walau begitu berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh, fasilitas pejalan kaki di kawasan pendidikan masih dikategorikan hijau (highly walkable) dengan nilai walkability 70,23.

Gambar 4. Hasil penilaian walkability per parameter untuk setiap kawasan
Seperti pada kawasan pendidikan, nilai walkability tertinggi dan terendah pada kawasan perbelanjaan juga diperoleh parameter 9 (87,58) dan parameter 7 (34,95). Nilai walkability yang rendah untuk parameter 7 tersebut menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur untuk penyandang cacat di lokasi survei masih minim. 
Parameter 7 dirasa sangat perlu untuk diperhatikan mengingat kawasan ini merupakan daerah public, yang harusnya tidak ada diskriminasi terhadap pengguna tertentu. Selanjutnya, nilai walkability tertinggi dan terendah pada kawasan perkantoran juga diperoleh parameter 5 (92,16) dan parameter 7(23,36). Selain itu juga, kawasan ini unggul pada parameter 3, 9 dan 4. Oleh karena lokasi yang disurvei sebagian besar merupakan kompleks perkantoran, pengendara kendaraan di sekitar lokasi terlihat sebagian besar merupakan karyawan atau pegawai kantor, juga lalu lintas kendaraan di sekitar kompleks terlihat tidak membahayakan pejalan kaki. Nilai walkability tertinggi pada parameter 5 tersebut menunjukkan bahwa adanya perilaku yang baik oleh karyawan/pegawai sebagai pengendara. Nilai walkability yang tinggi untuk parameter 9 dikarenakan oleh sistem keamanan yang baik di sekitar kompleks perkantoran. Berikutnya, jika dikaitkan dengan tipe kawasan dan pelaku aktivitas kawasan, infrastruktur penyandang cacat terlihat memang kurang tersedia.
Survei untuk kawasan peribadatan dilakukan pada masjid di mana mayoritas pengunjungnya berjalan kaki dalam mengakses masjid. Tidak jauh berbeda dengan kawasan perkantoran, jalur berjalan pada kawasan peribadatan juga lebih baik dibanding kawasan perbelanjaan dan pendidikan dari segi keamanan dari kejahatan (parameter 7), perilaku pengendara kendaraan bermotor (parameter 5), keselamatan penyeberangan (parameter 4) dan ketersediaan penyeberangan (parameter 3). Hal tersebut dikarenakan banyaknya daerah permukiman dengan tipikal jalan yang ramah terhadap keselamatan pejalan kaki. Dari segi keamanan dari kejahatan, kawasan peribadatan memperoleh nilai tertinggi 93,43. Terkait dengan waktu aktivitas ibadah di masjid, hal tersebut tentunya dapat meningkatkan ketertarikan orang untuk berjalan kaki ke masjid. Kebalikan dari itu, nilai walkability yang rendah untuk parameter 7 menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur untuk penyandang cacat di lokasi survei masih minim. Sama halnya dengan kawasan perbelanjaan, Parameter 7 perlu mendapat perhatian mengingat kawasan ini merupakan daerah publik, sehingga perlu adanya fasilitas pejalan kaki yang baik.

WI

Sebagai salah satu hasil akhir dari penilaian walkability adalah mengkategorikan perolehan nilai pada masing-masing kawasan sehingga dapat menjelaskan secara umum kondisi fasilitas pejalan kaki. Setelah dilakukan penghitungan, maka didapat nilai Walkability Index untuk setiap kawasan. Hasil hitungannya dapat dilihat pada Tabel 3. Kawasan pendidikan memperoleh walkability index tertinggi (70,64), yang diikuti oleh kawasan perbelanjaan (68,03), perkantoran (68,16), dan peribadatan (67,42).


Tabel 3. Hasil perhitungan WI                                                                            

Jenis Kawa-san
Lokasi
Panjang Ruas yang dinilai (m)
WI
Indeks Rata-rata
Pendidikan
Universitas
Diponegoro
2186,48
66,71


Komplek Sekolah Jl.Pandanaran
II


70,64
2591,98
74,57

Perbelanjaan
Citraland Mal
3237,52
68,14


Paragon Mal
3655,96
67,91
68,03
Perkantoran
Perkantoran Jl.
Pandanaran
4052,11
68,13


Komplek Kantor Gubernur
Jateng


68,16
1913,41
68,19

Peribadatan
Masjid
  Baiturrahmn                                                                                    
2659,84
65,58




67,42

Masjid Agung
                                 Jateng                                                                                                                       

2260,45
69,27



Rata-rata

68,56

                                                      


Persepsi responden terhadap perbaikan fasilitas pejalan kaki

Responden diminta untuk memberikan ranking prioritas mengenai hal-hal terkait fasilitas pejalan kaki yang harus diperbaiki. Tidak semua responden dapat memberikan 5 prioritasnya, oleh karena itu hanya diambil 3 ranking prioritas saja. Jawaban responden kemudian diklasifikasikan pada 9 parameter yang ada, hasil perankingan prioritas responden dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Prioritas perbaikan yang diusulkan responden

        Berdasarkan hasil wawancara, untuk prioritas pertama sebanyak 26,35% responden menginginkan penyediaan dan peningkatan kualitas trotoar/jalur pejalan kaki yang berupa pengadaan dan perbaikan trotoar yang rusak, peningkatan kebersihan, pelebaran trotoar dan semua yang terkait dengan parameter 2. Selanjutnya pada prioritas kedua, 20,33% responden berharap ada peningkatan fasilitas pendukung yang dapat meningkatkan kenyamanan saat berjalan kaki seperti penambahan peneduh baik pohon atau bangunan peneduh, penambahan tempat sampah, pengadaan lampu jalan, bangku, dan lain sebagainya. Responden juga berharap ada pemeliharaan terhadap fasilitas pendukung yang sudah ada seperti refill kantong sampah, perbaikan tong sampah yang rusak dan lain sebagainya. Kebanyakan responden sangat menginginkan adanya penambahan pohon atau bangunan peneduh, hal itu terkait dengan temperatur kota Semarang yang tinggi.
Sama halnya dengan prioritas kedua, sebanyak 6,64% responden pun menginginkan hal tersebut. Untuk menghindari hasil kesamaan prioritas pada prioritas kedua dan ketiga, maka prioritas ketiga yang diambil adalah yaitu penyediaan fasilitas penyeberangan (1,66%) sehingga tingkat keselamatan pejalan kaki bisa meningkat.

PEMBAHASAN

Dari hasil penilaian walkability, terlihat bahwa untuk lokasi kajian fasilitas pejalan kaki berkebutuhan khusus dirasa masih sangat minim. Hal ini ditunjukkan dengan sangat rendahnya nilai walkability untuk parameter 7 (Infrastruktur penunjang kelompok penyandang cacat). Tidak adanya jalur pemandu bagi penyandang tuna netra dan pelandaian bagi pengguna kursi roda merupakan kondisi yang hampir sama pada keempat wilayah/kawasan yang diamati.
Demikian juga halnya dengan kondisi trotoar dengan keberadaan penghalang atau


hambatan yang terlalu banyak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh penempatan berbagai furnitur jalan yang sangat mengurangi lebar efektif jalur pejalan kaki. Disamping adanya penghalang yang boleh dikatakan permanen tersebut, hal lain yang juga sangat signifikan menjadi penghalang bagi pejalan kaki adalah adanya parkir sepeda motor di trotoar. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya bahkan tidak adanya lahan parkir yang tersedia di sekitar kawasan. Sementara kawasan yang diamati merupakan kawasan attraction yang merupakan tarikan pergerakan. Hal tersebut perlu disikapi pemerintah setempat bekerja sama dengan pengelola kawasan untuk mencari jalan keluar masalah perparkiran tersebut. Selanjutnya yang menjadi perhatian adalah mengenai amenities (fasilitas pendukung). Penyediaan fasilitas pendukung yang memadai dapat membuat pejalan kaki merasa nyaman dalam berjalan, bahkan juga dapat menambah minat masyarakat untuk berjalan.
Terkait dengan temperatur udara yang cenderung tinggi di Kota Semarang, pengadaan fasilitas tambahan seperti peneduh alami (pohon) ataupun buatan (baik halte ataupun fasilitas peneduh lainnya), juga bangku tempat duduk akan sangat penting sebagai usulan dalam meningkatkan kualitas fasilitas pejalan kaki. Selain untuk aspek kenyamanan, penyediaan fasilitas pendukung juga dapat meningkatkan kualitas jalur berjalan pada aspek keamanan dan keselamatan. Penambahan lampu penerangan adalah salah satu contoh untuk aspek keamanan, sedangkan penambahan pagar pengaman, marka, dan bollard adalah contoh lainnya untuk aspek keselamatan.
Berdasarkan masalah-masalah tersebut di atas, sebagai hak utama pejalan kaki, juga sebagai bentuk perlindungan/keberpihakan pemerintah terhadap pejalan kaki, demikian pula sebagai suatu kesatuan dari sistem lalu lintas/transportasi perkotaan, maka pemerintah wajib menyediakan fasilitas pejalan kaki yang memadai dari segi keamanan, kenyamanan, dan keselamatan.
Parameter walkability merupakan elemen pembangun indeks. Dalam mengevaluasi kelayakan berjalan suatu lokasi ataupun kawasan, tidak cukup dengan hanya melihat nilaiindeksnya tapi juga perlu meninjau skor per parameternya. Hasil perolehan skor jika dilihat per parameter menunjukkan kecenderungan pola yang hampir sama untuk semua lokasi pada masing-masing kawasan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa setiap lokasi pada suatu kawasan memiliki permasalahan yang hampir sama terkait penyediaan fasilitas pejalan kaki. Setiap kawasan mempunyai permasalahannya masing-masing mengenai fasilitas dan lingkungan pejalan kaki. Hal tersebut terkait dengan karakteristik kawasan serta karakteristik pejalan kaki yang terbentuk sebagai pengaruh dari karakteristik kawasan tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Evaluasi terhadap hasil perhitungan WI menunjukkan bahwa kawasan-kawasan di daerah studi memiliki masalah yang sama terkait dengan kelayakan berjalan. Hal yang menonjol dari kajian tersebut adalah minimnya amenitis pada fasilitas pejalan kaki untuk kelompok berkebutuhan khusus. Hal ini terungkap di hampir semua jenis kawasan yang dikaji.

Saran

Nilai walkability index memberikan ilustrasi umum tentang kualitas fasilitas pejalan kaki untuk kawasan-kawasan tertentu di daerah perkotaan. Untuk melihat lebih detail manfaat dari indeks tersebut adalah melalui parameter- parameter yang digunakan. Sebagai bentuk implementasi, nilai pada masing-masing parameter memberikan gambaran item-item apa saja yang perlu diperbaiki agar mencapai indeks yang lebih baik. Indeks yang dibangun dalam kajian ini adalah untuk suatu kawasan yang spesifik.


UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Litbang Jalan dan Jembatan serta segenap pendukung yang namanya tidak bisa disebutkan masing-masing atas dukungannya sehingga terwujudnya tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Gota, Sudhir. 2011. Walkability Survey In Asian Cities, Clean Air Initiative for Asian Cities (CAI-Asia) Center. Ortigas Center, Philippines: ADB.
Hall, R. A. 2010. “HPE’s Walkability Index – Quantifying the Pedestrian Experience”, ITE 2010 Technical Conference and Exhibit compendium of technical papers. Washington D.C.: TRB.
Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAPI). 2009. Indonesia Most Liveable City Index. Jakarta: IAPI.
Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH): Panduan Pelaksanaan. Jakarta: Ditjen Penataan Ruang.
-------. 2014. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor: 03/PRT/M/2014 Tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Jakarta: Kementerian PU.
Krambeck, Holly V. 2006. “The Global Walkability Index”. Thesis. Massachusetts Institute of Technology.
Leather, James, Herbert Fabian, Sudhir Gota, Alvin Mejia. 2011. Walkability and Pedestrian Facilities in Asian Cities State and Issues. Manila: ADB.
Puslitbang Jalan dan Jembatan. 2014.  Laporan Akhir Penyusunan Kriteria Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki Pada Kota Hijau.
Laporan Internal. Bandung: [s.n.].
Rood, T. 2001. “Ped Sheds”. In Transportation Tech Sheet, Congress for the New Urbanism. San Francisco: Congress for the New Urbanism.
San Francisco Department of Public Health. 2008.
Pedestrian Environmental Quality Index. San Francisco: San Francisco Department of Public Health.
Tanan, Natalia. 2011. Fasilitas Pejalan Kaki. Naskah Ilmiah di Puslitbang Jalan dan Jembatan. Bandung: [s.n.].
U.S. Department of Health and Human Services. 2004. Walkability Audit Tool. Washington D.C.: Center for Disease Control.
United States Department of Transportation. 2005. Walkability Checklist, National Safe Kids Campaign. Washington D.C.: Federal Highway Administration.
Victoria Transport Policy Institute (VTPI). 2015. Evaluating Non-Motorized    Transport- Techniques for Measuring Walking and Cycling Activity and Conditions. TDM Encyclopedia. (http://www.vtpi.org/tdm/tdm63.htm#_Toc27 2910906). Diakses pada Januari 2015.
Vuchic, V. R. 2005. Urban Transit, Operations, Planning and Economics. Pennsylvania: Wiley.
Wibowo, S. Sony, Natalia Tanan, Nuryani Tinumbia. 2015. “Walkability Measures for City Area in Indonesia (Case Study of Bandung)”. The 11th International Conference of Eastern Asia Society for Transportation Studies (EASTS) September 11-14. Cebu City: EASTS.
Wibowo, S.S., dan Chalermpong, S. 2010. “Characteristics of Mode Choice within Mass Transit Catchments Area”. Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies (8): 1261-1274.

STUDI KASUS KLAIM KONSTRUKSI

KLAIM KONS T RU K SI S T U DI KAS U S PROYEK DI P A PUA By: Supriono STG_17316193 Kl a im b isa t i mb u l an t a ra pa ra p i...