PENGUKURAN WALKABILITY
INDEX PADA RUAS JALAN DI KAWASAN PERKOTAAN
(WALKABILITY
INDEX MEASUREMENT ON ROAD LINKS IN URBAN AREA)
ABSTRAK
Aktivitas berjalan
adalah bentuk aktivitas yang penting, baik sebagai moda transportasi maupun
sebagai aktivitas itu
sendiri. Berjalan sebagai moda transportasi menjadi indikator penting dalam
aksesibilitas dan penilaian liveable city. Walkability index adalah salah satu
metode untuk menilai kualitas lingkungan aktivitas berjalan. Makalah ini
membahas mengenai pengukuran walkability index pada ruas-ruas jalan dalam
beberapa kawasan terpilih di perkotaan menggunakan dua jenis survei, yaitu
survei inventarisasi fasilitas pejalan kaki dan survei wawancara pejalan kaki.
Metode walkability index ini dikembangkan dari beberapa kajian terkait walking
measures untuk kasus kota-kota di Indonesia. Terdapat sembilan parameter yang
digunakan dalam mengembangkan walkability index dan dengan survei form yang
dikembangkan khusus, dilakukan investigasi terhadap beberapa kawasan di daerah
studi. Kawasan-kawasan tersebut adalah kawasan pendidikan, kawasan
perbelanjaan, kawasan perkantoran, dan kawasan peribadatan. Rute berjalan dalam
walking catchment area untuk setiap kawasan
dinilai dan ditentukan nilai walkability index-nya. Hasil kajian memperlihatkan Walkability Index rata-rata untuk kawasan pendidikan 70,64,
kawasan perbelanjaan 68,03, kawasan perkantoran 68,16, dan kawasan peribadatan 67,42. Dari indeks tersebut terlihat
bahwa secara umum daerah studi termasuk ke dalam kategori kuning yang berarti
cukup baik untuk berjalan. Nilai walkability index dapat memberikan indikasi
arah perbaikan yang perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan
fasilitas pejalan kaki pada kawasan- kawasan tersebut dengan mengacu pada nilai
setiap parameter yang digunakan.
Aktivitas berjalan adalah bentuk aktivitas yang penting, baik sebagai moda transportasi maupun sebagai aktivitas itu sendiri. Berjalan sebagai moda transportasi menjadi indikator penting dalam aksesibilitas dan penilaian liveable city. Walkability index adalah salah satu metode untuk menilai kualitas lingkungan aktivitas berjalan. Makalah ini membahas mengenai pengukuran walkability index pada ruas-ruas jalan dalam beberapa kawasan terpilih di perkotaan menggunakan dua jenis survei, yaitu survei inventarisasi fasilitas pejalan kaki dan survei wawancara pejalan kaki. Metode walkability index ini dikembangkan dari beberapa kajian terkait walking measures untuk kasus kota-kota di Indonesia. Terdapat sembilan parameter yang digunakan dalam mengembangkan walkability index dan dengan survei form yang dikembangkan khusus, dilakukan investigasi terhadap beberapa kawasan di daerah studi. Kawasan-kawasan tersebut adalah kawasan pendidikan, kawasan perbelanjaan, kawasan perkantoran, dan kawasan peribadatan. Rute berjalan dalam walking catchment area untuk setiap kawasan dinilai dan ditentukan nilai walkability index-nya. Hasil kajian memperlihatkan Walkability Index rata-rata untuk kawasan pendidikan 70,64, kawasan perbelanjaan 68,03, kawasan perkantoran 68,16, dan kawasan peribadatan 67,42. Dari indeks tersebut terlihat bahwa secara umum daerah studi termasuk ke dalam kategori kuning yang berarti cukup baik untuk berjalan. Nilai walkability index dapat memberikan indikasi arah perbaikan yang perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan fasilitas pejalan kaki pada kawasan- kawasan tersebut dengan mengacu pada nilai setiap parameter yang digunakan.
ABSTRACT
Walking is an important activty both as transportation
mode and walking acvity itself.Walking as transportaion mode becomes an
important indicator in the accessibility and liveable city assessment.
Walkability Index is a method to measure
the quality of walking activity
environtment. This paper discusses walkability measurement on several
links of selected urban areas using two types of surveys, i.e. pedestrian
facility inventory and pedestrian interview.
Walkability Index method
was developed in several walking
studies in cases of Indonesian cities. There were nine parameters used to develope
Walkability Index to investigate several
zones in the study areas combined
with special modified survey form. The study areas consisted of educational,
shopping, business, and religious activity zones. The walking route in walking
catchment area of each zone is assesed to determine the Walkability Index
value. The study result showed the average Walkability Index are 70.64, 68.03 ,
68.16, and 67.42 for educational, shopping, business, and religious activity zones
respectively. From the above result, generally the study areas are categorized as the “yellow
category” meaning good walking environment. Walkability Index value could indicate direction for the
improvement strategy of pedestrian facilities. It could be conducted by
improving pedestrian facilities in the area based on each parameter value used.
Keywords: urban road, walkability index, walking mode,
pedestrian fasilities, urban area
PENDAHULUAN
Moda berjalan adalah moda yang pali
ng dasar dan penting dalam transportasi. Moda ini adalah salah satu
komponen penting dalam konsep aksesibilitas, khususnya dalam kajian angkutan
umum. Dalam Program Pembangunan Kota Hijau (P2KH) (Kementerian PU 2011), moda
berjalan menjadi salah satu indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam
kriteria kota layak huni (liveable city).
Walking environment menjadi salah
satu kriteria penting yang perlu dipertimbangkan (IAPI 2009).
Walkability atau kelayakan berjalan adalah interaksi antara fasilitas pejalan kaki
dan dukungan keseluruhan untuk lingkungan pejalan
kaki (Krambeck, 2006). Walkability Index (WI) adalah ukuran untuk menilai kondisi
kelayakan berjalan secara kualitatif. Konsep ini dikembangkan pertama kali oleh
Krambeck (2006) dalam bentuk Global
Walkability Index (GWI). Aplikasi
GWI untuk
kasus kota-kota di negara berkembang di Asia dikembangkan oleh Leather et al.
(2011). Penelitian yang disajikan dalam makalah ini bertujuan untuk
mengembangkan model GWI untuk kawasan- kawasan tertentu di
perkotaan, seperti kawasan pendidikan, komersial, perkantoran dan peribadatan.
Model ini diharapkan dapat memberikan ilustrasi sistem evaluasi yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan
berjalan di kawasan tertentu di perkotaan. Dengan pendekatan kualitatif
diharapkan pada implementasinya dapat memberikan daftar item- item perbaikan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
moda berjalan di perkotaan.
Penilaian walkability
yang dibahas dalam malakah ini merupakan hasil penilaian beberapa jalur
pejalan kaki di ruas jalan pada beberapa kawasan di Kota Semarang, Jawa Tengah
dengan menggunakan dua jenis survei, yaitu survei wawancara pejalan kaki dan
survei inventarisasi fasilitas pejalan kaki. Survey wawancana adalah untuk
mengidentifikasi desire walking route (rute
pejalan kaki) sedangkan survei inventarisasi adalah untuk membuat penilaian walkability yang mengacu pada konsep
GWI. Prosedur pengembangan GWI
untuk kasus kota Bandung yang sudah dikembangkan oleh Wibowo, Natalia, dan Nuryani (2015) digunakan
kembali dalam penelitian ini dengan variasi beberapa fungsi kawasan di kota
Bandung.
KAJIAN PUSTAKA
Fasilitas pejalan
kaki
Fasilitas
pejalan kaki adalah semua bangunan yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan pelayanan kepada
pejalan kaki, sehingga dapat meningkatkan kelancaran, ke amanan kenyamanan serta keselamatan pengguna-
nya. Fasilitas pejalan kaki dibedakan menjadi (Tanan 2011):
1) Fasilitas utama, yakni berupa
jalur pejalan kaki, misalnya trotoar dan penyeberangan baik sebidang maupun
tidak sebidang.
2) Fasilitas pendukung, berupa
segala sarana pendukung, misalnya: rambu, marka, pengendali kecepatan, papan
informasi, lapak tunggu, lampu penerangan, pagar pengaman, pelindung/ peneduh,
jalur hijau, tempat duduk, tempat sampah, halte, drainase, bollard, dan
lain sebagainya.
Jalur pejalan kaki selain jalur penyeberangan dalam
istilah transportasi dibedakan menjadi dua, yakni sidewalk dan walkway. Keduanya merupakan komponen
integral sistem jalan di mana
pejalan kaki perlu merasakan
keselamatan, kenyamanan, aksesibilitas, dan mobilitas yang efisien.
Kedua jalur pejalan kaki ini dapat meningkatkan keselamatan pejalan kaki dengan
memisahkan pejalan kaki dari lalu lintas
kendaraan secara vertikal (posisinya ditinggikan dengan kereb) dan/atau secara
horizontal bila tersedia ruang yang cukup. Sidewalk
adalah ruang khusus di sisi jalan dengan posisinya sejajar jalan yang
diperuntukan untuk perjalanan pejalan kaki dalam hal ini trotoar.
Sedangkan walkway adalah
ruang khusus yang letaknya bukan pada sisi jalan dan biasanya ditempatkan pada
tempat- tempat tertentu seperti taman dan lain sebagainya yang sifatnya jalan
pintas menghubungkan secara langsung ke tempat- tempat yang spesifik.
Konsep walkability
Istilah walkability
mencerminkan keseluruhan kondisi berjalan pada suatu daerah. Dalam Victoria
Transport Policy Institute (2014) mengemukakan walkability
memperhitungkan beberapa parameter, yakni kualitas fasilitas, konektivitas
jalur, kondisi jalan, pola tata guna lahan, dukungan masyarakat, kenyamanan,
serta rasa aman saat berjalan. Walkability
dapat dievaluasi pada skala lokasi, ruas jalan, ataupun skala lingkungan Secara umum walkability memperhitung-
kan sebagai berikut:
1) Kualitas jaringan jalur pejalan kaki (trotoar, penyeberangan)
2) Konektivitas jaringan jalur
pejalan kaki (seberapa baik trotoar dan jalur pejalan kaki lainnya saling
terhubung, dan seberapa baik pejalan kaki dapat mengakses tempat tujuan secara langsung).
3) Keamanan (seberapa aman yang dirasakan orang saat berjalan).
4) Kepadatan dan aksesibilitas (jarak
antara lokasi destinasi umum, seperti rumah, toko, sekolah, dan taman).
WI
Telah banyak metode
yang dikembangkan dalam
mengukur walkability, salah satunya
adalah metode pengukuran walkability yang
dikembangkan oleh Holly Krambeck untuk World
Bank yang dikenal sebagai GWI. Tujuan
adanya metode ini adalah untuk meningkatkan walkability kota-kota berkembang, dengan kunci tujuan yaitu
1)
Menghasilkan kesadaran bahwa walkability adalah merupakan isu penting
di negara berkembang.
2) Melakukan identifikasi mengenai jalur pejalan kaki secara spesifik,
serta melakukan perbandingan dengan kota lain, memberikan rekomendasi serta
langkah untuk peningkatan kondisi jalur pejalan kaki.
Tabel 1. Metode dari perolehan WI dari penelitian Asian Development Bank (ADB) tersebut berbeda dengan GWI. GWI memasukkan jumlah pejalan kaki (dari hasil Pedestian count selama 15 menit) dan panjang segmen jalan yang disurvei dalam perhitungan indeks, yang mengindikasi adanya pengaruh kedua faktor tersebut terhadap indeks. Berbeda dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh ADB tidak memasukkan dua faktor tersebut dalam menghitung nilai indeks walau sebenarnya dilakukan dalam survei. Jumlah pejalan kaki dan panjang segmen jalan tidak dimasukkan karena untuk menghilangkan bias.
Tabel 1. Metode dari perolehan WI dari penelitian Asian Development Bank (ADB) tersebut berbeda dengan GWI. GWI memasukkan jumlah pejalan kaki (dari hasil Pedestian count selama 15 menit) dan panjang segmen jalan yang disurvei dalam perhitungan indeks, yang mengindikasi adanya pengaruh kedua faktor tersebut terhadap indeks. Berbeda dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh ADB tidak memasukkan dua faktor tersebut dalam menghitung nilai indeks walau sebenarnya dilakukan dalam survei. Jumlah pejalan kaki dan panjang segmen jalan tidak dimasukkan karena untuk menghilangkan bias.
3) Memberikan masukan serta mendorong pemerintah kota untuk mengatasi
masalah walkability.
WI yang dikembangkan Krambeck (2006) terdiri dari 3 (tiga) komponen:
1) Keselamatan dan keamanan (menentukan keselamatan dan keamanan lingkungan ber- jalan).
2) kenyamanan (yang mencerminkan kenyama- nan dan daya tarik jaringan pejalan kaki).
3) Dukungan kebijakan (mencerminkan sejauh mana dukungan pemerintah kota terhadap perbaikan fasilitas pejalan kaki serta layanan terkait, termasuk di dalamnya mengenai perencanaan moda tidak bermotor dan penganggaran perencanaan fasilitas pejalan kaki).
WI yang dikembangkan Krambeck (2006) terdiri dari 3 (tiga) komponen:
1) Keselamatan dan keamanan (menentukan keselamatan dan keamanan lingkungan ber- jalan).
2) kenyamanan (yang mencerminkan kenyama- nan dan daya tarik jaringan pejalan kaki).
3) Dukungan kebijakan (mencerminkan sejauh mana dukungan pemerintah kota terhadap perbaikan fasilitas pejalan kaki serta layanan terkait, termasuk di dalamnya mengenai perencanaan moda tidak bermotor dan penganggaran perencanaan fasilitas pejalan kaki).
Ketiga komponen tersebut kemudian dibagi menjadi 22
indikator (Modal Conflict, Crossing
Safety, Crossing Exposure, Traffic Management at Crossings, Security, Safety
Rules and Laws, Pedestrian Safety Education, Motorist Behavior, Trees,
Cleanliness, Quality and Maintenance of Walking Path Surface, Disability
Infrastructure, Obstruction, Availability of Crossings, Walking Path
Congestion, Pedestrian Amenities, Connectivity,
Overall Convenience, Planning for Pedestrians, Relevan Design Guidelines).
Selanjutnya ke-22 indikator tersebut dielaborasi menjadi 45 variabel.
Penelitian oleh Leather et al. (2011)
yang mengkaji walkability di beberapa
negara di Asia, menggunakan parameter-parameter yang
dimodifikasi dari GWI.
Parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada yang
dihasilkan oleh jumlah orang berjalan di segmen jalan tertentu dan panjangnya. Misalnya, suatu segmen jalan dengan
infrastruktur yang cukup dan lalu lintas pejalan kaki yang sangat tinggi
seharusnya tidak menerima peringkat lebih tinggi daripada segmen jalan dengan
infrastruktur berkualitas tinggi
dengan lalu lintas pejalan kaki yang rendah. Tingkat
penggunaan infrastruktur pejalan kaki dengan sendirinya tidak boleh digunakan
sebagai parameter untuk menilai walkability
pada daerah tertentu, karena dirasa tidak adil pada daerah yang
infrastruktur pejalan kaki-nya baik dengan tingkat penggunaan yang lebih
rendah. Penghitungan jumlah pejalan kaki digunakan dalam mengidentifikasi
daerah-daerah prioritas yang membutuhkan
perbaikan (misalnya daerah dengan lalu lintas pejalan kaki tinggi tetapi dengan
penilaian walkability rendah). Alasan
yang sama juga berlaku untuk jarak.
Selain Krambeck dan Leather, ada beberapa metode
penilaian walkability lainnya, di antaranya: Walkability Audit Tool (U.S. 2004), Pedestrian
Environmental Quality Index- PEQI (San Francisco Department of Public Health
2008), HPE’s Walkability Index (Hall 2010), dan Walkability Checklists (US DoT
2005).
T abel 1. Paramater yang digunakan pada penelitian ADB tentang walkability
T abel 1. Paramater yang digunakan pada penelitian ADB tentang walkability
Parameter
|
Penjelasan
|
1. Konflik jalur pejalan kaki dengan
moda transportasi lainnya
|
Tingkat konflik antara pejalan kaki dan mode lain
di jalan, seperti sepeda,
sepeda motor dan mobil
|
2. Ketersediaan jalur pejalan kaki
|
Kebutuhan, ketersediaan dan kondisi jalur
berjalan. Parameter ini diubah
dari parameter "Pemeliharaan dan
Kebersihan" dalam GWI
|
3. Ketersediaan penyeberangan
|
Ketersediaan dan
panjang penyeberangan untuk menjelaskan apakah pejalan kaki cenderung jaywalk
ketika tidak ada penyeberangan atau ketika penyeberangan terlalu jauh
|
4. Keselamatan penyeberangan
|
Arus lalu lintas
moda lainnya saat melintasi jalan, waktu yang dihabiskan menunggu dan menyeberang jalan dan jumlah waktu
yang diberikan kepada pejalan kaki
untuk menyeberang persimpangan dengan sinyal
|
5. Perilaku Pengendara Kendaraan
bermotor
|
Perilaku pengendara terhadap pejalan kaki sebagai
indikasi jenis
lingkungan pejalan kaki
|
6. Amenities (kelengkapan pendukung)
|
Ketersediaan
fasilitas pejalan kaki, seperti bangku, lampu jalan, toilet umum, dan
pohon-pohon, yang sangat meningkatkan daya tarik dan kenyamanan lingkungan
pejalan kaki, dan juga daerah di sekitarnya.
|
7. Infrastruktur penunjang kelompok
penyandang cacat
|
Ketersediaan, posisi dan pemeliharaan
infrastruktur untuk penyandang
cacat
|
8. Kendala/ hambatan
|
Adanya penghalang permanen
dan sementara di jalur pejalan kaki yang akan mengurangi lebar efektif jalur
pejalan kaki sehingga dapat
menyebabkan ketidaknyamanan bagi pejalan kaki
|
9. Keamanan dari kejahatan
|
Rasa aman yang umum terhadap kejahatan di jalan
|
Sumber: Leather et al. (2011) yang
dimodifikasi.
HIPOTESIS
HIPOTESIS
WI dapat
menunjukkan ruas jalan yang memiliki masalah terkait kelayakan berjalan.
METODOLOGI
METODOLOGI
Diagram alir
pengukuran
Dalam kajian ini, aktivitas moda
transportasi berjalan adalah berjalannya orang untuk menuju tempat tertentu, guna memenuhi kebutuhannya atau aktivitas utamanya.
Penilaian walkability dilakukan
pada fasilitas pejalan kaki untuk spesifik rute perjalanan yang dipilih oleh
pejalan kaki yang bersangkutan. Secara umum prosedur pengukuran nilai walkability pada ruas jalan di perkotaan
mengikuti diagram alir pada Gambar 1.
Penetapan tipe kawasan dan lokasinya
Mengacu pada penelitian ADB yang dilakukan oleh Leather
et al. (2011), hal yang sama dilakukan pada kajian ini, dimana lokasi kajian
dilakukan di Kota Semarang. Ditetapkan beberapa kawasan yang akan dinilai,
yakni kawasan pendidikan, perbelanjaan (komersial), perkantoran, dan peribadatan.
Fasilitas pejalan kaki dapat ditempatkan disepanjang jalan atau pada suatu
kawasan yang akan mengakibatkan pertumbuhan pejalan kaki seperti daerah-daerah
industri, pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, sekolah, terminal bus,
perumahan, dan pusat hiburan (Indonesia 2014).
Tipe kawasan tersebut merupakan kawasan aktivitas
masyarakat yang dapat menarik dan membangkitkan perjalanan pejalan kaki,
sehingga pengambilan beberapa jenis kawasan pada kajian ini dapat menjadi
sampling kawasan yang dapat mewakili kondisi fasilitas pejalan kaki berdasarkan
jenis kawasan, aktivitas, serta
responden dengan tujuan perjalanan yang berbeda-beda.
Adapun
lokasi yang dipilih pada makalah ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Kawasan
yang
Dikaji
|
Lokasi
|
Kawasan Pendidikan
|
·
Undip Kampus Tembalang
·
Kompleks Sekolah
jalan
Pandanaran II
|
Kawasan
Perbelanjaan
|
·
Citraland Mall
·
Paragon Mall
|
Kawasan Perkantoran
|
·
Kompleks Perkantoran
jalan Pandanaran
·
Kompleks Kantor
Gubernur
Jawa Tengah
|
Kawasan Peribadatan
|
·
Masjid Raya Baitullah
Semarang
· Masjid Agung Jawa
Tengah
|
Penetapan pusat aktivitas lokasi kawasan
Dalam banyak kajian tentang pejalan kaki, jarak
seseorang untuk berjalan menuju pusat aktivitasnya sangat bervariasi tergantung
dari banyak faktor. Secara umum, akses berjalan
menuju terminal transportasi (dalam hal ini berjalan adalah bagian dari perjalanan
atau access trip) lebih besar dari
berjalan menuju tempat aktivitasnya, misalnya berjalan dari kantor ke restoran
untuk istirahat makan siang. Besar jarak access
trip tergantung dari jenis moda yang ingin dituju, seperti bus atau kereta
api namun secara umum digunakan 5 menit atau
10 menit berjalan kaki. Besaran
ini sudah banyak dikaji seperti yang dapat dilihat
pada VTPI (2015), Wibowo, Natalia, dan Nuryani
(2015),
Rood (2001),
Vuchic (2005).
Dalam kajian ini, besaran 5 menit berjalan kaki ditetapkan sebagai pedestrian catchment area (daerah
tangkapan pejalan kaki) yang diasumsikan sejauh 400 meter. Jarak ini adalah
jarak asumsi dimana pejalan kaki masih mau berjalan dengan nyaman untuk
mencapai pusat aktivitasnya (Wibowo dan Chalermpong 2010)
Setiap lokasi kawasan ditetapkan pusat aktivitasnya.
Pusat aktivitas yang dimaksud adalah titik yang diasumsikan sebagai titik
berakhirnya perjalanan.Titik pusat aktivitas ini berupa titik
pintu gerbang setiap
lokasi kawasan. Selanjutnya ditetapkan daerah tangkapan pejalan kaki dengan memetakan daerah yang
masuk pada radius 400 meter (panjang teoritis) dari titik-titik pusat aktivitas
yang telah ditentukan sebelumnya.
Identifikasi
jalur pejalan kaki
Segmen-segmen jalur pejalan kaki yang akan
disurvei tidak menerus, dan dibatasi oleh daerah tangkapan pejalan kaki sejauh
400 meter dengan gerbang tiap-tiap lokasi kawasan sebagai titik pusatnya. Jalur-jalur
berjalan tersebut diambil secara acak dengan pola diagonal di tiap-tiap
lokasinya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. Pada gambar
tersebut, survei investigasi dilakukan pada rute-rute berjalan yang
teridentifikasi (dari hasil wawancara) yang berada pada daerah yang diarsir.
Berbeda dengan yang dilakukan untuk kasus Kota Bandung, dalam Wibowo, Natalia,
dan Nuryani (2015), rute berjalan
diambil secara acak dan tidak menerus
untuk dari asal ke tujuan. Hal ini dilakukan untuk mendapat variability (tingkat keragaman) kondisi
pejalan kaki pada kawasan yang dikaji
(tidak didominasi oleh rute-
rute utama pada kawasan tersebut).
Gambar 2. Penetapan sampling
area untuk investigasi rute berjalan.
Inventarisasi
fasilitas pejalan kaki
Kegiatan selanjutnya yaitu survei inventarisasi
rute-rute berjalan. Survei ini terdiri dari dua kegiatan besar yaitu,
mendokumen- tasikan kondisi fasilitas pejalan kaki dan lingkungannya dalam
bentuk rekaman video maupun foto dan menilai suatu segmen jalur berjalan dari
skor 1 sampai 5 (1 adalah terendah dan 5 adalah
tertinggi) per parameter
pada setiap lokasi. Penilaian walkability tersebut dilakukan pada
setiap rute berjalan di tiap lokasi. Setiap rute berjalan terdiri dari beberapa
segmen jalur berjalan. Segmen jalur berjalan yang dimaksud yaitu:
1. Dibatasi dengan jenis infrastruktur jalur berjalan (sidewalk dan walkway).
2.
Dibatasi dengan adanya simpang.
Penilaian dilakukan secara umum untuk keseluruhan panjang
setiap segmen jalur berjalan dengan asumsi bahwa kondisi pada sepanjang tiap segmen
jalur berjalan adalah sama. Skor penilaian suatu parameter dapat juga memuat nilai tengah
jika segmen jalur pejalan kaki tersebut mencerminkan dua kondisi skor. Sisi sidewalk yang disurvei berdasarkan
pengamatan di lapangan dimana sisi tersebut banyak dilewati pejalan kaki. Pada
setiap lokasi dilakukan pula pendataan panjang dan lebar efektif masing-masing
segmen jalur berjalan yang disurvei.
Penilaian walkability menggunakan parameter seperti yang tertera pada Tabel 1. Hasil dokumentasi survei dalam bentuk rekaman video dan foto digunakan untuk menilai kondisi dan lingkungan fasilitas berjalan di setiap segmen rute yang diamati. Setiap segmen dinilai dengan skor 1 sampai dengan 5 untuk masing- masing parameter di mana skor 1 adalah yang terendah (kondisi terburuk) dan 5 adalah yang tertinggi (kondisi terbaik). Untuk memudahkan penilaian dan konsistensi, formulir dibuat sedemikian rupa seperti terlihat pada gambar berikut ini (contoh untuk parameter 2).
Penilaian walkability menggunakan parameter seperti yang tertera pada Tabel 1. Hasil dokumentasi survei dalam bentuk rekaman video dan foto digunakan untuk menilai kondisi dan lingkungan fasilitas berjalan di setiap segmen rute yang diamati. Setiap segmen dinilai dengan skor 1 sampai dengan 5 untuk masing- masing parameter di mana skor 1 adalah yang terendah (kondisi terburuk) dan 5 adalah yang tertinggi (kondisi terbaik). Untuk memudahkan penilaian dan konsistensi, formulir dibuat sedemikian rupa seperti terlihat pada gambar berikut ini (contoh untuk parameter 2).
Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis
untuk mengembangkan walkability index seperti
yang dikembangkan sebelumnya. Untuk kemudahan perhitungan, nilai skor penilaian dikonversikan dalam rentang
nilai/rating 0-100. Sebagai interprestasi nilai digunakan pendekatan yang telah dilakukan oleh Gota et al. (2011) yang mengelompokkan rating
walkability ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu:
1.
Kategori Hijau, dengan skor >
70, menyatakan highly walkable (sangat
baik untuk berjalan)
2.
Kategori Kuning, dengan skor 50 –
70, menya-takan waiting to walk (cukup
baik untuk berjalan)
3. Kategori Merah, dengan skor < 50, menyata- kan not walkable (tidak baik untuk berjalan)
Perhitungan WI
WI merupakan suatu nilai yang dapat mewakili suatu kondisi tertentu dalam
hal ini kelayakan berjalan suatu wilayah. Nilai indeks ini memperhitungkan
panjang segmen jalan sehingga dapat dikatakan adil untuk setiap segmen jalan
dengan panjang yang berbeda- beda. Nilai dari hasil penilaian walkability pada setiap parameter
dikalikan dengan bobot. Penggunaan bobot jika terdapat parameter yang dianggap
lebih penting daripada parameter lainnya. Dalam makalah ini, semua parameter diasumsikan
memiliki tingkat kepentingan yang sama sehingga nilai bobot yang digunakan
adalah 1.
Setiap segmen jalur berjalan mempunyai nilai skor. Nilai skor suatu segmen
(i)
didapat dengan menjumlahkan setiap nilai yang dikalikan dengan bobot pada
setiap parameter.
Kemudian nilai skor segmen tersebut
dikalikan dengan panjang segmen jalur berjalan.
𝑆𝑘𝑜𝑟𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑠𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛𝑖 ×
𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛𝑖 ….....................(2)
Sehingga indeks masing-masing kawasan didapat,
|
Keterangan:
n =
jumlah parameter
i = segmen
j =
parameter
Indeks yang diperoleh tersebut menjelaskan kondisi
fasilitas pejalan kaki sebagai fungsi aksesibilitas suatu lokasi. Perhitungan akhir WI per kawasan
diperoleh dari rata-rata
indeks masing-masing lokasi. Usulan perbaikan dapat dilihat berdasarkan
perolehan WI yang paling rendah pada
parameter tertentu. Hal lain yang dapat dipertimbangkan dalam mengusulkan
perbaikan fasilitas pejalan kaki adalah hasil wawancara mengenai persepsi dan
preferensi pejalan kaki.
Wawancara
pejalan kaki
Survei wawancara dilakukan pada daerah tujuan (lokasi
tinjauan) dengan target responden yakni harus merupakan pejalan kaki ataupun
orang yang berpotensi berjalan kaki yang memulai perjalanan dari daerah asal
(daerah yang termasuk dalam daerah tangkapan pejalan kaki). Kuesioner singkat mengenai
rute berjalan, karakteristik
perjalanan, sosie konomi dan tanggapan responden disiapkan. Kuesioner tersebut
diisi oleh penyurvei saat melakukan wawancara terhadap responden. Dalam survei
ini pun, responden diminta menilai kondisi rute berjalannya (yang berupa
persepsi) dengan menggunakan sembilan parameter yang digunakan dalam penilaian
survei inventory fasilitas pejalan
kaki. Salah satu informasi penting yang didapat dari survei wawancara ini
adalah rute berjalan yang pada umumnya dilalui oleh pejalan kaki dari daerah asal menuju daerah tujuannya. Survei wawancara pejalan
kaki yang telah dilakukan, selanjutnya dikumpulkan dan direkap datanya. Hasil
dari survei wawancara tersebut diolah secara statistik inferensial untuk
menggambarkan persepsi dan preferensi dari populasi. Pengolahan atas data
menjadi informasi menggunakan tabel, grafis, maupun flowchart.
Wawancara
pejalan kaki
Survei wawancara dilakukan pada daerah tujuan (lokasi
tinjauan) dengan target responden yakni harus merupakan pejalan kaki ataupun
orang yang berpotensi berjalan kaki yang memulai perjalanan dari daerah asal
(daerah yang termasuk dalam daerah tangkapan pejalan kaki). Kuesioner singkat mengenai
rute berjalan, karakteristik
perjalanan, sosie konomi dan tanggapan responden disiapkan. Kuesioner tersebut
diisi oleh penyurvei saat melakukan wawancara terhadap responden. Dalam survei
ini pun, responden diminta menilai kondisi rute berjalannya (yang berupa
persepsi) dengan menggunakan sembilan parameter yang digunakan dalam penilaian
survei inventory fasilitas pejalan
kaki. Salah satu informasi penting yang didapat dari survei wawancara ini
adalah rute berjalan yang pada umumnya dilalui oleh pejalan kaki dari daerah asal menuju daerah tujuannya. Survei wawancara pejalan
kaki yang telah dilakukan, selanjutnya dikumpulkan dan direkap datanya. Hasil
dari survei wawancara tersebut diolah secara statistik inferensial untuk
menggambarkan persepsi dan preferensi dari populasi. Pengolahan atas data
menjadi informasi menggunakan tabel, grafis, maupun flowchart.
HASIL DAN ANALISIS
Penilaian walkability
Hasil penilaian walkability per parameter untuk setiap
kawasan ditunjukkan Gambar 4. Nilai walkability
tertinggi untuk kawasan pendidikan diperoleh pada parameter sembilan
(86,71), sebaliknya nilai terendah pada parameter tujuh (39,08). Terkait dengan
kawasan pendidikan dimana pelajar/mahasiswa sebagai mayoritas pejalan
kakinya, rasa aman dari kejahatan merupakan suatu hal yang penting yang dapat
meningkatkan ketertarikan untuk berjalan kaki. Infrastruktur penunjang
penyandang cacat yang minim pada kawasan ini membuktikan bahwa penyandang cacat
masih terabaikan. Walau begitu berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh,
fasilitas pejalan kaki di kawasan pendidikan masih dikategorikan hijau (highly walkable) dengan nilai walkability 70,23.
Gambar
4.
Hasil penilaian walkability per
parameter untuk setiap kawasan
Seperti
pada kawasan pendidikan, nilai walkability
tertinggi dan terendah pada kawasan perbelanjaan juga diperoleh parameter 9
(87,58) dan parameter 7 (34,95). Nilai walkability
yang rendah untuk parameter 7 tersebut menunjukkan
bahwa penyediaan infrastruktur untuk penyandang
cacat di lokasi survei masih minim.
Parameter 7 dirasa sangat perlu untuk diperhatikan mengingat kawasan ini merupakan daerah public, yang harusnya tidak ada diskriminasi terhadap pengguna tertentu. Selanjutnya, nilai walkability tertinggi dan terendah pada kawasan perkantoran juga diperoleh parameter 5 (92,16) dan parameter 7(23,36). Selain itu juga, kawasan ini unggul pada parameter 3, 9 dan 4. Oleh karena lokasi yang disurvei sebagian besar merupakan kompleks perkantoran, pengendara kendaraan di sekitar lokasi terlihat sebagian besar merupakan karyawan atau pegawai kantor, juga lalu lintas kendaraan di sekitar kompleks terlihat tidak membahayakan pejalan kaki. Nilai walkability tertinggi pada parameter 5 tersebut menunjukkan bahwa adanya perilaku yang baik oleh karyawan/pegawai sebagai pengendara. Nilai walkability yang tinggi untuk parameter 9 dikarenakan oleh sistem keamanan yang baik di sekitar kompleks perkantoran. Berikutnya, jika dikaitkan dengan tipe kawasan dan pelaku aktivitas kawasan, infrastruktur penyandang cacat terlihat memang kurang tersedia.
Parameter 7 dirasa sangat perlu untuk diperhatikan mengingat kawasan ini merupakan daerah public, yang harusnya tidak ada diskriminasi terhadap pengguna tertentu. Selanjutnya, nilai walkability tertinggi dan terendah pada kawasan perkantoran juga diperoleh parameter 5 (92,16) dan parameter 7(23,36). Selain itu juga, kawasan ini unggul pada parameter 3, 9 dan 4. Oleh karena lokasi yang disurvei sebagian besar merupakan kompleks perkantoran, pengendara kendaraan di sekitar lokasi terlihat sebagian besar merupakan karyawan atau pegawai kantor, juga lalu lintas kendaraan di sekitar kompleks terlihat tidak membahayakan pejalan kaki. Nilai walkability tertinggi pada parameter 5 tersebut menunjukkan bahwa adanya perilaku yang baik oleh karyawan/pegawai sebagai pengendara. Nilai walkability yang tinggi untuk parameter 9 dikarenakan oleh sistem keamanan yang baik di sekitar kompleks perkantoran. Berikutnya, jika dikaitkan dengan tipe kawasan dan pelaku aktivitas kawasan, infrastruktur penyandang cacat terlihat memang kurang tersedia.
Survei
untuk kawasan peribadatan dilakukan pada masjid di mana mayoritas pengunjungnya
berjalan kaki dalam mengakses masjid. Tidak jauh berbeda dengan kawasan perkantoran,
jalur berjalan pada kawasan peribadatan juga lebih baik dibanding kawasan
perbelanjaan dan pendidikan dari segi keamanan dari kejahatan (parameter 7),
perilaku pengendara kendaraan bermotor (parameter 5), keselamatan penyeberangan
(parameter 4) dan ketersediaan penyeberangan (parameter 3). Hal tersebut
dikarenakan banyaknya daerah permukiman
dengan tipikal jalan yang ramah terhadap keselamatan pejalan kaki. Dari segi
keamanan dari kejahatan, kawasan peribadatan memperoleh nilai tertinggi 93,43.
Terkait dengan waktu aktivitas ibadah di masjid, hal tersebut tentunya dapat
meningkatkan ketertarikan orang untuk berjalan kaki ke masjid. Kebalikan dari itu, nilai walkability yang rendah untuk parameter
7 menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur untuk penyandang cacat di lokasi survei
masih minim. Sama halnya
dengan kawasan perbelanjaan, Parameter 7 perlu mendapat perhatian mengingat kawasan
ini merupakan daerah publik,
sehingga perlu adanya fasilitas pejalan kaki yang baik.
WI
Sebagai salah satu hasil akhir dari penilaian walkability adalah mengkategorikan
perolehan nilai pada masing-masing kawasan sehingga dapat menjelaskan secara
umum kondisi fasilitas pejalan kaki. Setelah dilakukan penghitungan, maka
didapat nilai Walkability Index untuk
setiap kawasan. Hasil hitungannya dapat dilihat pada Tabel 3. Kawasan
pendidikan memperoleh walkability index tertinggi
(70,64), yang diikuti oleh kawasan perbelanjaan (68,03), perkantoran (68,16),
dan peribadatan (67,42).
Tabel 3. Hasil perhitungan WI
Jenis
Kawa-san
|
Lokasi
|
Panjang
Ruas yang dinilai (m)
|
WI
|
Indeks Rata-rata
|
Pendidikan
|
Universitas
Diponegoro
|
2186,48
|
66,71
|
|
|
Komplek Sekolah Jl.Pandanaran
II
|
|
|
70,64
|
2591,98
|
74,57
|
|
||
Perbelanjaan
|
Citraland Mal
|
3237,52
|
68,14
|
|
|
Paragon Mal
|
3655,96
|
67,91
|
68,03
|
Perkantoran
|
Perkantoran Jl.
Pandanaran
|
4052,11
|
68,13
|
|
|
Komplek Kantor Gubernur
Jateng
|
|
|
68,16
|
1913,41
|
68,19
|
|
||
Peribadatan
|
Masjid
Baiturrahmn
|
2659,84
|
65,58
|
|
|
|
|
67,42
|
|
|
Masjid
Agung
Jateng
|
|||
|
2260,45
|
69,27
|
|
|
|
|
Rata-rata
|
|
68,56
|
Persepsi responden terhadap perbaikan
fasilitas pejalan kaki
Responden diminta untuk memberikan ranking prioritas
mengenai hal-hal terkait fasilitas pejalan kaki yang harus diperbaiki. Tidak
semua responden dapat memberikan 5 prioritasnya,
oleh karena itu hanya diambil 3 ranking prioritas saja. Jawaban responden
kemudian diklasifikasikan pada 9 parameter yang ada, hasil perankingan
prioritas responden dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar
4.
Prioritas perbaikan yang diusulkan responden
Berdasarkan hasil wawancara, untuk prioritas pertama sebanyak 26,35%
responden menginginkan penyediaan dan peningkatan kualitas trotoar/jalur
pejalan kaki yang berupa pengadaan dan perbaikan trotoar yang rusak,
peningkatan kebersihan, pelebaran trotoar dan semua yang terkait dengan
parameter 2. Selanjutnya pada prioritas kedua, 20,33% responden berharap ada
peningkatan fasilitas pendukung yang dapat meningkatkan kenyamanan saat
berjalan kaki seperti penambahan peneduh baik pohon atau bangunan peneduh, penambahan tempat sampah, pengadaan lampu jalan, bangku, dan lain sebagainya.
Responden juga berharap ada pemeliharaan terhadap fasilitas pendukung yang
sudah ada seperti refill kantong
sampah, perbaikan tong sampah yang rusak dan lain sebagainya. Kebanyakan
responden sangat menginginkan adanya penambahan pohon atau bangunan peneduh,
hal itu terkait dengan temperatur kota Semarang yang tinggi.
Sama halnya
dengan prioritas kedua, sebanyak 6,64% responden pun menginginkan hal tersebut.
Untuk menghindari hasil kesamaan prioritas pada prioritas kedua dan ketiga,
maka prioritas ketiga yang diambil adalah yaitu penyediaan fasilitas
penyeberangan (1,66%) sehingga tingkat keselamatan pejalan kaki bisa meningkat.
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Dari hasil penilaian walkability,
terlihat bahwa untuk lokasi kajian fasilitas pejalan kaki berkebutuhan khusus
dirasa masih sangat minim. Hal ini ditunjukkan dengan sangat rendahnya nilai walkability untuk parameter 7
(Infrastruktur penunjang kelompok penyandang cacat). Tidak adanya jalur pemandu
bagi penyandang tuna netra dan pelandaian bagi pengguna kursi roda merupakan
kondisi yang hampir sama pada keempat wilayah/kawasan yang diamati.
Demikian juga halnya dengan kondisi trotoar dengan
keberadaan penghalang atau
hambatan
yang terlalu banyak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh penempatan berbagai
furnitur jalan yang sangat mengurangi lebar efektif jalur pejalan kaki.
Disamping adanya penghalang yang boleh dikatakan permanen tersebut, hal lain
yang juga sangat signifikan menjadi penghalang bagi pejalan kaki adalah adanya
parkir sepeda motor di trotoar. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya bahkan
tidak adanya lahan parkir yang tersedia di sekitar kawasan. Sementara kawasan
yang diamati merupakan kawasan attraction
yang merupakan tarikan pergerakan. Hal tersebut perlu disikapi pemerintah
setempat bekerja sama dengan pengelola kawasan untuk mencari jalan keluar
masalah perparkiran tersebut. Selanjutnya yang menjadi perhatian adalah
mengenai amenities (fasilitas
pendukung). Penyediaan fasilitas pendukung yang memadai dapat membuat pejalan
kaki merasa nyaman dalam berjalan, bahkan juga dapat menambah minat masyarakat
untuk berjalan.
Terkait dengan temperatur udara yang cenderung tinggi di
Kota Semarang, pengadaan fasilitas tambahan seperti peneduh alami (pohon)
ataupun buatan (baik halte ataupun fasilitas peneduh lainnya), juga bangku
tempat duduk akan sangat penting sebagai usulan dalam meningkatkan
kualitas fasilitas pejalan kaki. Selain untuk aspek kenyamanan, penyediaan
fasilitas pendukung juga dapat meningkatkan kualitas jalur berjalan pada aspek
keamanan dan keselamatan. Penambahan lampu penerangan adalah salah satu contoh
untuk aspek keamanan, sedangkan
penambahan pagar pengaman, marka, dan bollard adalah contoh lainnya untuk aspek keselamatan.
Berdasarkan masalah-masalah tersebut di atas, sebagai hak
utama pejalan kaki, juga sebagai bentuk perlindungan/keberpihakan pemerintah terhadap
pejalan kaki, demikian
pula sebagai suatu kesatuan dari sistem lalu lintas/transportasi
perkotaan, maka pemerintah wajib menyediakan fasilitas pejalan kaki yang
memadai dari segi keamanan, kenyamanan, dan keselamatan.
Parameter walkability
merupakan elemen pembangun indeks. Dalam mengevaluasi kelayakan berjalan
suatu lokasi ataupun kawasan, tidak cukup dengan hanya melihat nilaiindeksnya
tapi juga perlu meninjau skor per parameternya. Hasil perolehan skor jika
dilihat per parameter menunjukkan kecenderungan pola yang hampir sama
untuk semua lokasi pada masing-masing kawasan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
setiap lokasi pada suatu kawasan
memiliki permasalahan yang hampir sama terkait penyediaan fasilitas pejalan
kaki. Setiap kawasan mempunyai permasalahannya masing-masing mengenai fasilitas
dan lingkungan pejalan kaki. Hal tersebut terkait dengan karakteristik kawasan
serta karakteristik pejalan kaki yang terbentuk sebagai pengaruh dari
karakteristik kawasan tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan
Evaluasi terhadap hasil perhitungan WI menunjukkan bahwa
kawasan-kawasan di daerah studi memiliki
masalah yang sama terkait
dengan kelayakan berjalan. Hal yang menonjol dari kajian tersebut adalah
minimnya amenitis pada fasilitas pejalan kaki untuk kelompok berkebutuhan
khusus. Hal ini terungkap di hampir semua jenis kawasan yang dikaji.
Saran
Nilai walkability
index memberikan ilustrasi umum tentang kualitas fasilitas pejalan kaki
untuk kawasan-kawasan tertentu di daerah perkotaan. Untuk melihat lebih detail
manfaat dari indeks tersebut adalah melalui parameter- parameter yang
digunakan. Sebagai bentuk implementasi, nilai pada masing-masing parameter
memberikan gambaran item-item apa saja yang perlu diperbaiki agar mencapai
indeks yang lebih baik. Indeks yang dibangun dalam kajian ini adalah untuk
suatu kawasan yang spesifik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Pusat Litbang
Jalan dan Jembatan serta segenap pendukung yang namanya tidak bisa disebutkan
masing-masing atas dukungannya sehingga terwujudnya tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gota,
Sudhir. 2011. Walkability Survey In Asian
Cities, Clean Air Initiative for Asian Cities (CAI-Asia) Center. Ortigas
Center, Philippines: ADB.
Hall, R. A. 2010. “HPE’s
Walkability Index – Quantifying the Pedestrian Experience”, ITE 2010 Technical Conference
and Exhibit compendium of technical papers. Washington D.C.: TRB.
Ikatan
Ahli Perencanaan Indonesia (IAPI). 2009. Indonesia
Most Liveable City Index. Jakarta: IAPI.
Indonesia,
Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Program
Pengembangan Kota Hijau (P2KH):
Panduan Pelaksanaan. Jakarta: Ditjen Penataan Ruang.
-------.
2014. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
(Permen PU) Nomor: 03/PRT/M/2014 Tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana
Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Jakarta: Kementerian PU.
Krambeck, Holly V.
2006. “The Global Walkability Index”. Thesis. Massachusetts Institute of
Technology.
Leather,
James, Herbert Fabian, Sudhir Gota, Alvin Mejia. 2011. Walkability and Pedestrian Facilities in Asian Cities State and Issues.
Manila: ADB.
Puslitbang Jalan dan
Jembatan. 2014. Laporan Akhir Penyusunan Kriteria Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki
Pada Kota Hijau.
Laporan
Internal. Bandung: [s.n.].
Rood,
T. 2001. “Ped Sheds”. In Transportation
Tech Sheet, Congress for the New Urbanism. San Francisco: Congress for the New
Urbanism.
San Francisco
Department of Public
Health. 2008.
Pedestrian
Environmental Quality Index. San Francisco:
San Francisco Department of Public Health.
Tanan,
Natalia. 2011. Fasilitas Pejalan Kaki.
Naskah Ilmiah di Puslitbang Jalan
dan Jembatan. Bandung: [s.n.].
U.S.
Department of Health and Human Services. 2004. Walkability Audit Tool. Washington D.C.: Center for Disease
Control.
United
States Department of Transportation. 2005. Walkability
Checklist, National Safe Kids Campaign. Washington D.C.: Federal Highway
Administration.
Victoria
Transport Policy Institute (VTPI). 2015. Evaluating Non-Motorized Transport- Techniques for Measuring Walking
and Cycling Activity and Conditions. TDM
Encyclopedia. (http://www.vtpi.org/tdm/tdm63.htm#_Toc27 2910906). Diakses pada Januari 2015.
Vuchic,
V. R. 2005. Urban Transit, Operations,
Planning and Economics. Pennsylvania: Wiley.
Wibowo,
S. Sony, Natalia Tanan, Nuryani Tinumbia.
2015. “Walkability Measures for City Area in Indonesia (Case Study of
Bandung)”. The 11th International
Conference of Eastern Asia Society for Transportation Studies (EASTS) September 11-14.
Cebu City: EASTS.
Wibowo,
S.S., dan Chalermpong, S. 2010. “Characteristics of Mode Choice within Mass
Transit Catchments Area”. Journal of the
Eastern Asia Society for Transportation Studies (8): 1261-1274.